Menghikmahi Sempak Dalam Pendakian Gunung Kelir
Sempak, kendatipun tersembunyi
di balik seluruh yang kita kenakan, namun ada kalanya ia justru memegang
peranan yang amat krusial saat melakukan pendakian gunung. Setiap pendaki rupanya
mutlak harus memperhatikan dengan serius urusan sempak masing-masing, jika ingin
pendakian berjalan sukses.
Selama ini ulasan tentang piranti
pendukung pendakian gunung melulu soal sepatu, tenda, tas carrier, dan
sejenisnya. Sempak yang tersembunyi lagi terkesan agak saru itu, tak punya cukup
kegagahan untuk dibahas dalam forum-forum petualangan.
Sampai di sini, barangkali sampean masih meraba korelasi yang logis
antara sempak dan pendakian gunung. Baiklah, kewajiban saya adalah bercerita
dan hak Anda untuk meluangkan waktu dan rileks
barang lima menit sembari menyimak cerita berikut.
Pada suatu malam saya merencanakan
mau naik gunung. Rencana ini cukup mendadak karena naik gunung yang saya
rencanakan adalah esok paginya. Lantas seperti biasa, rencana tersebut saya
lontarkan kepada kawan-kawan yang sekiranya geleman
kalau diajak mendaki. Dari tiga kawan yang saya ajak, satu di antara mereka
menerima ajakan saya sementara sisanya memilih mau ngaso saja di rumah. Yang
menerima itulah Ratri.
Gunung yang akan saya daki
esok hari adalah gunung Kelir. Gunung Kelir adalah gunung yang berjarak paling
dekat dari basecamp Omah Petualang Bedono. Perjalanan bermotor ke basecamp
pendakiannya, hanya membutuhkan waktu tak lebih dari sepuluh menit.
Oya, baru-baru ini gunung
Kelir cukup dikenal gara-gara sebuah program televisi nasional menayangkan acara
yang meliput seputar gunung Kelir dan komoditas utamanya, kopi. Acara itu
adalah vivabarista Metro tv.
Kembali ke pendakian. Setelah
cukup lama berangan-angan mendaki gunung ini, akhirnya waktu yang saya nanti
itu datang juga . Gunung Kelir memang tidak tinggi-tinggi amat katimbang
gunung-gunung lain di Jawa Tengah. Tingginya 1300-an Mdpl saja. Tapi bagi saya
gunung Kelir adalah gunung paling bersejarah.
Pemandangan Rawa Pening dari Gunung Kelir. Foto oleh: Safik |
Historikal gunung Kelir bagi
saya lantaran gunung Kelir adalah gunung yang saya daki untuk pertama kalinya. Ketika
itu saya masih kelas 5 SD. Sekolahan kami mengadakan acara hiking bersama yang
diikuti siswa kelas 5 dan 6. Kami begitu gembira dan bersemangat menjalanini
debut pendakian kami itu. Hingga kini, pengalaman itu masih sangat mengesankan
bagi saya.
Kebetulan Ratri ini adalah
adik kelas saya waktu SD. Jadi pendakian kali ini, katakanlah pendakian
nostalgia, pendakian reuni. Meskipun saat saya mendaki kelas 5 SD, Ratri tidak
ikut mendaki karena waktu itu masih terlalu kencur umurnya.
Sejak awal saya memang bernapsu
kepengin nostalgia mengenang jaman masih bocah, maka pendakian kali ini
waktunya saya atur persis sepersis-persisnya dengan waktu saya mendaki dulu.
Supaya suasananya mendukung sehingga baper saya mudah muncul.
Malam hari, saya dan Ratri
sepakat berangkat besuk pukul 07.00 pagi. Kami memang tidak memburu sunrise.
Tujuan saya lebih ke olahraga sekaligus nostalgianan jaman SD.
Paginya, rampung mandi saya
iseng membuka lemari pakaian yang saya tau betul masih tersimpan beberapa
pakaian waktu saya SD. Saya ambil beberapa dan diantara yang saya ambil itu
terselipah sebuah celana dalam. Celana dalam itu kelak menjadi biang kerepotan
saya.
Telat sedikit menit dari
waktu yang disepakati, saya ngampiri
Ratri ke rumahnya. Ratri sudah tampak necis dan selesai packing. Ratri keluar rumah dengan gaya cukup meyakinkan: daypack
di punggungnya, flanel kotak-kotak warna merah, dan sepatu trekking andalannya.
Dari rumah Ratri kami langsung nunut parkir
di rumah warga paling dekat dengan jalur pendakian.
Jalur pendakian Kelir setau
saya ada tiga. Dari Gertas, Jurang, dan Wonokasihan. Jalur yang saya lewati
waktu mendaki SD dulu adalah jalur Jurang. Kali ini sebetulnya saya sangat
ingin mendaki lewat jalur Jurang. Tapi Ratri memilih mengajak lewat jalur
Wonokasihan. Alasanya, jalurnya lebih jelas. Sementara saya sendiri juga sama
sekali lupa jalur Jurang. Meski Jurang adalah dusun yang tidak terlalu jauh
dari dusun saya, tapi saya harus mengakui bahwa saya tidak cukup kekinian untuk
tau jalur pendakian Kelir via jurang yang belakangan cukup ngehits itu. Tentu
saja ngehits ukuran Bedono.
Dengan pilihan jalur yang tak
sesuai angan-anagn, pendakian bertema nostalgia saya sudah gagal sebagian. Syukur, saya masih
menabung banyak semangat, sehingga pendakian lewat jalur Wonokasihan ini masih
bisa saya daki dengan antusiasme yang tinggi. Pada titik ini saya sudah mulai
melupakan nostalgia jaman SD.
Motor saya parkir lalu bismillah, pendakian dimulai. Awal-awal
jalur pendakian paras saya (masih) sumringah. Saya dan Ratri banyak bercerita.
Beberapa obrolan kami ada yang nyambung, selebihnya nyambung banget. Kami menikmati
udara bersih pegunungan. Sambil melangkahkan kaki di jalur yang terjal,
sesekali kami menghirupnya dalam-dalam.
Gunung Kelir memang kesohor
sebagai penghasil kopi kualitas jempolan. Sepanjang kiri-kanan jalur pendakian,
menghampar kebun kopi yang luas. Bahkan agaknya kopi Kelir lebih dikenal
katimbang gunungnya.
Setelah trekking sekitar dua
puluh menit, intensitas obrolan kami berkurang. Lebih persisnya saya yang
perlahan-lahan banyak mengurangi pembicaraan. Mulanya Ratri tidak berpikir
macam-macam. Tapi perubahan air muka saya dari yang banyak ketawa mendadak datar
dan senyap membuatnya curiga juga. Saya memang sedang merasakan ada yang tidak
beres dalam diri saya. Ratri meminta untuk break
sejenak.
Selama break saya lebih banyak diam. Saya mau ngomong sesuatu yang tak
beres di saya tapi malu sekaligus gengsi. Kemudian saya memilih mengajak Ratri untuk
melanjutkan trekking.
Perjalanan berlanjut, tapi
sesuatu yang tak beres dalam diri saya tak kunjung hilang. Jangankan hilang,
berkurang saja tidak.Rasanya malah semakin gawat saja. Dan Ratri menangkap
gurat-gurat penderitaan itu di muka saya. Ratri langsung meminta break lagi dan mengeluarkan bekal
makanan dan minuman dari ranselnya. Sejurus kemudian, nasi putih dengan bistik
ayam dan telur dadar telah siap di muka saya. Dipikirnya saya belum sarapan.
Saya nurut saja dengan perintah Ratri. Saya makan sampai tandas habis.
Beres makan Ratri bertanya tentang keadaan saya.
Dengan malu-malu, terpaksa saya ceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya.
Jadi, dimulai dari sehabis mandi pagi tadi saya membuka lemari yang berisi beberapa
pakaian masa kecil saya yang masih tersimpan. Ketika saya tidak sengaja mengambil
celana dalam, saya kemudian tergoda untuk memakainya. Saya pakai dan, sungguh
sesak! Saya hendak ganti tapi niat itu urung
saya lakukan. Pertimbangan saya, olahragawan-olahragawan itu mereka mengenakan sempak yang ketat saat berolahraga.
Berenang misalnya. Jadi jika saya melakukan tabiat yang "serupa" sepertinya
tidak ada masalah. Itulah analisa goblok
yang saya terapkan. Rupanya keputusan tersebut adalah blunder yang besar.
Memakai sempak yang sesak
saat mendaki sungguh menyiksa. Dampaknya memang tidak seketika, tapi sangat
terasa ketika sudah beberapa waktu dipakai untuk jalan. Penderitaan tersebut
adalah kolaborasi antara nyeri, sesak, mulas, dan tentu saja, malu! Sumber rasa sakit itu datang dari yang inti
yang ada dalam sempak. Taulah Anda
pasti tanpa saya jelaskan lebih sistemis. Lebih-lebih partner saya dalam
pendakian ini adalah perempuan! Betapa tidak berkelasnya jenis malu yang saya
tanggung.
Beruntung Ratri mengerti
kondisi yang saya alami. Ratri yang sekolahnya di bidang ilmu kesehatan itu bisa
memahami ini dari sudut pandang yang ilmiah. Bukan saru. Akhirnya kami kami mengambil keputusan untuk turun
lagi. Saya yang tengah menderita, turun dengan begitu payah. Hanya diam sepanjang jalan saja sambil
berjalan mekeh-mekeh.
Trekking ke gunung Kelir kali itu sejatinya
tidak batal. Hanya saja, waktu itu kami tidak berhasil mendakinya sampai puncak. Namun,
dari kegagalan ini setidaknya ada ilmu yang bisa saya hikmahi, kendati ia
berupa sempak sekalipun.
Mudah-mudahan pembaca blog ini bisa lebih cerdas dalam menentukan sempak mana yang akan
dipakai saat mendaki. Sebab jika kegagalan saya waktu itu diakibatkan oleh
sempak, maka ada kalanya kesuksesan Anda ditentukan oleh sempak Anda.
Posting Komentar untuk "Menghikmahi Sempak Dalam Pendakian Gunung Kelir"