Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wisata Edukasi Batik Gemawang: Jejak Seteru Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati

 www.habib.web.id - Wisata Edukasi Batik Gemawang: Jejak Seteru Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati

Jika ada yang bertanya tentang tempat wisata di Kabupaten Semarang, rasa-rasanya kebanyakan akan menjawab di antara: Candi Gedong Songo, Danau Rawa Pening, dan Museum Kereta Api. Atau malah Dusun Semilir, dan Saloka Theme Park. Atau, belakangan mungkin Gunung
Telomoyo. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa objek-objek wisata tersebut merupakan objek wisata besar yang menarik dan memiliki pesona yang kelewat indah. Namun, jika Sebagian Anda mengira bahwa wisata Kabupaten Semarang hanya “itu”, sepertinya artikel ini akan cocok untuk Anda. Adalah keputusan yang tepat jika Anda melanjutkan membaca artikel ini.

Selain wisata yang jamak sudah dikenal banyak orang, Kabupaten Semarang rupanya memiliki pesona yang lebih dari itu. Ada beberapa alternatif wisata bagi Anda yang sudah khatam menjelajah objek-objek wisata besar dan ingin merasakan pengalaman berwisata yang agak lain. Nah, di antara wisata yang agak lain itu adalah wisata alternatif yang berbasis pada treatment edukasi. Wisata yang tidak melulu menawarkan wahana dan panorama. Dan, wisata yang akan kita bahas ini adalah Wisata Edukasi Batik Gemawang

Batik Gemawang merupakan satu dari sekian industri kerajinan batik yang ada dan beroperasi di Kabupaten Semarang. Tepatnya di Dusun Banaran, Desa Gemawang, Kecamatan Jambu. Sejak didirikan pada tahun 2008, hingga kini Batik Gemawang telah melayani kebutuhan batik tidak hanya di wilayah Kabupaten Semarang, namun juga di seantero nusantara.

Adalah H. Abdul Kholiq Fauzi, pria kelahiran Kabupaten Semarang 46 tahun silam itu merupakan sosok yang membidani berdirinya Batik Gemawang. Mula-mula, Batik Gemawang adalah kelompok masyarakat yang mendapat pelatihan. Pelatihan tersebut difasilitasi oleh sebuah Yayasan yang dipimpin Gabriella Taggia, pendiri Losari Coffee Plantation. Mungkin bukan kebetulan bahwa masyarakat di Desa Gemawang memperoleh fasilitas pelatihan itu. Menilik pada sejarah perkembangan batik di Nusantara, konon desa itu dahulunya merupakan salah satu desa penghasil batik yang kualitasnya amat diperhitungkan. Jadi, secara kultural masyarakat di sana memiliki bekal berupa bakat membatik kendatipun sudah lama terpendam. Itulah yang membuat mereka cepat dalam menyerap dan menguasai keterampilan membatik. Meski begitu, Batik Gemawang dalam perkembanganya bukan tanpa aral. Ada banyak proses dan dinamika yang secara bertahap dilalui hingga sampai pada posisi Batik Gemawang seperti sekarang ini.

Batik Gemawang tidak hanya menjual dagangan berupa kain batik dan produk-produk turunannya. Selain berbelanja batik, di sana tersedia paket wisata edukasi yang menawarkan pengalaman menjadi seorang pembatik dalam waktu satu hari.

Kegiatan Produksi Batik Gemawang

Dalam paket wisata itu, pengunjung akan diajak tur ke tempat produksi batik. Disana pengunjung akan melihat dan mengamati proses bagaimana batik dibuat mulai dari pengecapan hingga batik jadi dan siap digunakan. Setelah belajar dengan mengamati, kini saatnya pengunjung akan diberikan pelatihan dengan praktek membatik secara langsung. Masing-masing akan diberikan satu set peranti untuk membatik.

Pada proses inilah biasanya pengunjung akan mendapat pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Mereka akan diajari bagaimana membuat batik tulis menggunakan canting. Bagi pemula, mungkin proses ini akan sedikit terasa sukar. Tapi percayalah bahwa Anda akan mendapati jenis kesukaran yang sangat mengasyikkan. Setiap pengunjung diperkenankan untuk membuat motif dengan canting sesuai yang mereka kehendaki.

Pengunjung Praktek Mencanting

Setelah proses mencanting, pengunjung akan diajak untuk mewarnai hasil dari goresan canting yang telah mereka selesaikan sebelumnya. Dan sekali lagi, mereka diizinkan untuk mewarnai sesuai dengan preferensi dan kesukaan mereka terhadap warna-warna tertentu.

Setelah proses demi proses dalam membatik mereka lalui, pengunjung bisa menunggu beberapa saat hingga batik mereka jadi. Pulang dari sana, pengunjung akan membawa batik hasil karyanya masing-masing. Mungkin Anda adalah penggemar dan pemakai kain batik. Namun, menggunakan batik hasil karya sendiri? Boleh jadi ini merupakan pengalaman yang tidak bisa sering Anda dapati.

Tenang saja, selama berlangsungnya kegiatan, pengunjung akan dipandu oleh pemandu yang jenaka dan berpengalaman, yang tidak akan membiarkan setiap detik waktu Anda berlalu tanpa arti.

 

Legenda Kisah Pengasingan Ki Ageng Mangir

Sebagai sebuah karya seni, batik tidak hadir secara ujuk-ujuk. Batik tidak tercipta dari ruang dan waktu yang hampa. Ada banyak peristiwa dan fenomena pada waktu yang telah lewat yang melatari kehadiran sebuah karya batik. Pun dengan corak dan motif yang menjadi koleksi Batik Gemawang. Ia merupakan ekspresi dan respon dari fenomena sejarah yang terjadi di daerah tersebut.

Adalah kisah dari perseteruan antara Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Panembahan Senopati. Panembahan Senopati yang merupakan penguasa Mataram kala itu memiliki cita-cita untuk membesarkan wilayah kerajaan. Untuk menggapai cita-cita itu, ia musti menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar wilayahnya. Dengan cara itu, ekspansi wilayah kerajaan baru bisa terjadi.

Namun, usahanya menemu jalan buntu ketika harus berhadapan dengan penguasa Kerajaan Mangir. Ketika itu Kerajaan Mangir dipimpin oleh Ki Ageng Mangir IV alias Ki Ageng Mangir Wanabaya. Seluruh upaya diplomasi telah dilakukan namun tak kunjung membuahkan hasil yang gemilang. Ki Ageng Mangir bergeming. Ia bersikukuh tetap mempertahankan wilayahnya dengan dalih bahwa wilayah tersebut adalah wilayah perdikan sejak zaman Majapahit dulu. Ia menolak untuk takluk kepada Panembahan Senopati dan ogah bergabung dengan Mataram.

Negosiasi yang berjalan alot membuat Panembahan Senopati harus memutar otak. Hingga ia akhirnya menemukan strategi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Panembahan Senopati hendak melakukan siasat dengan mengumpankan Rara Pambayun yang merupakan anak gadisnya. Rara Pambayun ia gunakan sebagai pemikat Ki Ageng Mangir. Panembahan Senopati bukan tidak tahu bahwa misinya ini amat beresiko. Namun, ketakutan dan bayangan akan kegagalan misi ini perlahan sirna ketika kakek dari Rara Pambayun ikut turun tangan dengan meyakinkan dan memberikan jimat berupa tusuk kondhe.

Kemudian Rara Pambayun mulai melakukan perjalanan ke wilayah kerajaan Mangir. Seorang putri raja itu menunaikan misi penyamaran sebagai seorang ledhek atau penari. Bermodal paras jelita nan kinyis-kinyis, tidak sulit baginya membuat setiap lelaki jatuh naksir kepadanya. Untuk melancarkan aksinya, ia menyusun strategi agar bisa berpentas di hadapan Ki Ageng Mangir.

Singkat cerita, berpentaslah Rara Pambayun di hadapan Ki Ageng Mangir. Mujur tak dapat diraih untung tak dapat ditolak, Ki Ageng Mangir masuk ke dalam perangkap. Penguasa Mangir itu jatuh cinta sejatuh-jatuhnya kepada ledhek yang menari anggun di depannya. Ia sekonyong-konyong mau mengawininya. Tidak berselang lama terjadilah perkawinan itu.

Seiring berjalannya waktu, Rara Pambayun yang mulanya hanya berniat nge-prank sang raja atas intruksi bapaknya, usut punya usut, justru dia sendiri juga jatuh cinta sungguhan kepada Ki Ageng Mangir. Cinta sejoli itu akhirnya membuahkan bayi yang kini dikandung Rara Pambayun.

Atas dasar rasa cintanya itu, Rara Pambayun kemudian menceritakan hal yang sebenarnya. Ia membujuk Ki Ageng Mangir agar mau menghadap kepada Panembahan Senopati, seteru yang kini otomatis menjadi mertuanya. Ki Ageng Mangir kaget dan marah. Tapi apa boleh buat semuanya kepalang terjadi. Hingga akhirnya setelah melewati diskusi yang Panjang, Ki Ageng Mangir setuju untuk menghadap Panembahan Senopati.

Ki Ageng Mangir berangkat membawa kru yang cukup banyak. Setelah rombongan dari Mangir sampai, mereka ditemui langsung oleh Panembahan Senopati. Pada titik ini, kelanjutan kisah Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati terbagi menjadi dua versi. Versi pertama adalah Panembahan Senopati merasa misinya telah berhasil dan tetap menganggap menantunya itu sebagai musuh. Sehingga ketika Ki Ageng Mangir bersujud di depannya, Panembahan Senopati tak segan untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan menyerang Ki Ageng Mangir. Kepala Ki Ageng Mangir ia benturkan dengan batu besar yang kini dikenal sebagai watu gilang yang terdapat di Kotagede, Yogyakarta. Ki Ageng Mangir Tewas bersimbah darah di tangan mertuanya.

Versi kedua, versi yang lebih banyak disetujui, adalah Ki Ageng Mangir diterima sebagai menantu, namun tetap tidak melupakan fakta bahwa ia juga sekaligus musuhnya. Untuk itu ia dipersilahkan cabut dari Mataram. Ki Ageng Mangir kemudian diasingkan di sebuah desa yang bernama desa Banaran.

Di masa-masa sulitnya dalam pengasingan, Ki Ageng Mangir tinggal di sebuah hutan di atas Gunung Watu. Ia berlindung di bawah tumpukan batu yang menyerupai bentuk payung, yang kini dikenal sebagai Watu Payung. Watu Payung terletak di tengah rimbunya peohonan. Pohon itu kini kita kenal sebagai pohon kopi.

Gunung Watu di Desa Gemawang
Sumber: Isrofi

Sebagai wujud rasa syukur dan terimakasih atas kesempatan hidup yang dimilikinya, ia lalu berdoa agar kelak tempat dan pohon-pohon yang menaunginya selama dalam pengasingan ini tetap lestari dan ngremboko hingga nanti.

Menurut sohibul hikayat yang meyakini legenda tersebut, Desa Banaran yang menjadi lokasi pengasingan Ki Ageng Mangir yang dimaksud adalah Dusun Banaran di ujung Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Kemudian, Gunung Watu yang menjadi tempat pengasingan Ki Ageng Mangir adalah Gunung Watu yang berada dekat dari dusun Banaran, dan pepohoan kopi yang menaungi Ki Ageng Mangir selama masa pengasingan itu kini tetap lestari seperti doanya.

Desa Gemawang, dan desa-desa di sekitarnya, kini merupakan daerah penghasil kopi. Sebagian besar lahan dari desa itu bahkan kini menjadi wilayah PTPN IV yang mengelola perkebunan kopi dan Kampoeng Kopi Banaran.

Dari legenda itulah maka tidak heran jika corak dan motif yang dibuat oleh Batik Gemawang banyak yang menggambarkan motif bernuansa kopi. Barangkali, hal ini juga yang membuat saat ini Batik Gemawang tidak hanya berkualitas secara produksi, namun juga kuat secara karakter. Batik Gemawang bukanlah sekedar komoditas, ia adalah anak kandung kebudayaan yang terlahir dari sejarah yang panjang. 


Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Pesona Wisata Kabupaten Semarang. 


Batik Motif Daun Kopi

Batik Motif Kopi Pecah

Motif Kopi Pecah dan Kembang Kopi

Motif Kembang Kopi

Galeri Batik Gemawang

 

 

Posting Komentar untuk "Wisata Edukasi Batik Gemawang: Jejak Seteru Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati"