Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Piknik Sederhana Pemuda Udik

www.habib.web.id - Piknik Sederhana Pemuda Udik



Beberapa hari lalu, saya dikabari kalau stok Madu Wangi di resto Lawuh Ndeso sudah menipis. Itu artinya saya musti segera ke Salatiga untuk menambah barang enam-tujuh botol sebagai tambahan persediaan di resto itu. Sebenarnya, stok Madu Wangi di rumah juga sudah menipis, saya belum diberi kesempatan untuk panen lagi. Kali ini, nyaris sepanjang tahun adalah musim penghujan. Hujan turun setiap hari dan membuat tidak ada bunga mekar.  Sementara peminat Madu Wangi juga butuh untuk mengkonsumsi madu setiap hari, mereka adalah orang-orang yang sudah merasakan manfaat dari madu yang masih benar-benar murni dan mentah seperti Madu Wangi.

Esoknya, setelah botol-botol madu saya bungkus dengan kertas koran dan saya tata dengan hati-hati di dalam tas, saya berangkat ke Salatiga bermotor. Saya melakukan perjalanan ke Salatiga pela-pelan. Bagaimanapun yang sedang saya bawa ini adalah madu murni. Terlalu banyak goncangan adalah kesalahan bagi madu murni. Madu akan mengeluarkan gas dan bisa-bisa meluap. Setelah perjalanan yang tegang dan sabar, saya sukses mengantar madu-madu ini ke tempatnya. Kemudian saya langsung pulang.

Saya pulang lewat jalan alternatif, jalur Muncul. Di perjalanan pulang, ketika sampai di tikungan  Pasar Gilang saya berpapasan dengan Pincuk. Ia berboncengan dengan Nasrodin. Mereka lantas mencegat saya. Mereka nampak membawa sesuatu di dalam tas plastik. Sesuatu itu besar dan bergerak. Rupanya yang mereka bawa adalah enam ekor lele hidup. Usut punya usut mereka sedang merencanakan sebuah giat alam, semacam pesta kebun. Saya yang kebetulan waktu itu belum ada agenda lain, menerima ajakan mereka untuk bergabung. Disinilah cerita bermula.

Dari Pasar Gilang kami masuk melalui jalan kampung menuju dusun mereka, Tigorejo. Tujuan kami adalah ke rumah Gendos. Sebelum ke rumah Gendos kami mampir ke warung membeli minyak goreng dan cabai.

"Tumbas lombok." Kata Pincuk.
"Lombok nopo, pinten?" Sahut penjualnya.
"Lombok sing pedes, sepuluh ewu." Jawab Pincuk datar, tanpa  dosa.
Mendengar jawaban dari Pincuk, ibu-ibu penjual itu langsung masuk dan mengambil cabai. Ia ogah melanjutkan percakapan dengan Pincuk. Jika kita tahu bahwa di antara jenis cabai ada cabai rawit, cabai merah, dan cabai hijau, Pincuk hanya mengerti satu jenis cabai: lombok sing pedes, cabai yang pedas.

Tak berselang lama ibu itu keluar dengan membawa sekantong plastik cabai yang berisi campuran bermacam-macam jenis cabai. Ada cabai setan, cabai merah, dll, dll, dll. Di titik ini saya sebenarnya ingin ngakak. Namun saya segera sadar bahwa biang dari kondisi ini adalah Pincuk sendiri yang menjawab pertanyaan ibu itu dengan jawaban yang mungkin cukup konyol: lombok sing pedes. Tulung kecerdasane, kabeh lombok yo pedes to Cuuuk!

Tiba di tempat tujuan, Gendos dan Kolik sudah bercokol manis di beranda rumah. Melihat kedatangan kami, mereka segera mengambil sikap untuk mengkondisikan lele-lele itu. Bertindak sebagai algojo adalah Gendos, dengan sigap ia menggedik kepala lele-lele itu. Eksekusi berjalan singkat. Gendos menunaikan tugasnya dengan gemilang.

Kolik menyambung tugas Gendos untuk membedah dan memutilasi lele-lele yang merana itu. Sementara saya menjemput seorang kawan lagi di rumahnya, Mahmudi. Mahmudi masih sibuk dengan pekerjaannya menggambar ketika saya datang. Saya mendesak Mahmudi untuk segera menutup pekerjaanya dulu. Kawan-kawan yang lain sudah lama menunggu.

Salah satu yang menyenangkan tinggal di desa adalah banyak sumber makanan tersedia di sekitaran rumah. Seperti kali ini, ketika melihat jumlah lele yang sepertinya akan kurang untuk mencukupi kebutuhan makan kami berenam, Gendos buru-buru menyiapkan kail dan memancing ikan nila di kolam depan rumahnya. Dua ikan nila dengan ukuran lumayan berhasil diangkat untuk menambah jumlah lele yang ada.

Kami, lebih tepatnya Gendos sebagai juru gorengnya, memasak ikan-ikan itu menggunakan pawon. Masak menggunakan pawon tidak semudah menggunakan kompor gas yang tinggal sentuh pemantiknya lalu api menyala. Butuh beberapa waktu dan keterampilan khusus untuk daden geni di pawon.
Gendos sang juru goreng yang terampil

Sebagai koki, Gandos diasisteni oleh dua orang, Kolik dan Nasrodin. Kolik menyiapkan bumbu-bumbu dan Nasrodin bertugas menjaga agar nyala api tetap stabil sesuai yang dikehendaki Gendos.

Bumbu-bumbu dapur untuk membumbui ikan itu sebagian besar didapat juga dari kebun belakang rumah. Jahenya membedol dadakan sebelum memasak.

Sembari menunggu ikan-ikan matang. Kami beradu pendapat soal kemanakah ikan ini akan disantap nantinya. Pincuk mengusulkan ke Kali Gede, saya dan beberapa yang lain mengusulkan ke Sepakung, sisanya mengusulkan di rumah saja. Kali Gede dan Sepakung tidak berada jauh dari rumah Gendos. Setelah berembug dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemudahan dan keindahan, maka kami mufakat untuk menuju Sepakung.

Sepakung memang tidak  terlalu jauh, sekira lima menitan lebih-lebih sedikit perjalanan gas tipis-tipis. Namun membawa sebakul nasi, sambal, air, dan ikan goreng dalam nampan tentu menjadi amat repot ketika ditambah dengan membawa piring sejumlah  6 buah. Maka demi efektifitas, kami memutuskan untuk tidak membawa piring. Sebagai gantinya adalah daun pisang. Saya ditemani Mahmudi berinisiatif mencari daun pisang yang lagi-lagi dengan mudah bisa didapat di belakang rumah. Daun pisang dapat digulung sehingga tidak makan banyak tempat dan mudah untuk dibawa-bawa.

Mahmudi membabat daun pisang


Sesaat sebelum berangkat, kami melihat tanaman Kemangi yang ada di sekitar kolam. Saya sempatkan untuk memetik secukupnya sebagai lalapan. Di desa, sungguh banyak hal yang bisa kita dapatkan tanpa membeli.

Kami berangkat ke Sepakung dengan tiga motor, masing-masing berboncengan. Awalnya kami ingin menikmati ikan ini di Kali Kulon, Sepakung. Namun setiba di Kali Kulon, kami melihat sepasang muda-mudi kedapatan sedang pacaran. Sebagai laki-laki yang berperasaan halus dan penuh toleransi, kami tidak tega untuk menggelar kenduri kecil-kecilan ini di dekat mereka. Kegiatan kami akan mengusik mereka. Kami tidak ingin bergembira di sebelah penderitaan pihak lian. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju kolam Mbalong, spot itu cukup indah dan rasa-rasanya cocok untuk acara makan-makan ini.

Di tengah perjalanan ke Mbalong, kami baru sadar kalau trek menuju Mbalong tergolong ekstrem. Menuju kesana dengan beban penuh makanan seperti ini sama saja membuang makanan itu sia-sia. Karena sulit rasanya mengendarai motor di jalur ini tanpa menumpahkan muatan yang kami bawa. Maka dengan berat hati kami balik kanan.

Saat itu saya ingat pernah diajak jalan-jalan Mbah Bejo dan Pak Ahmat Nuri, Kades desa Sepakung. Saya diantar menuju sebuah telaga di lereng gunung Telomoyo. Saya mengajukan tempat itu kepada kawan-kawan yang lain sebagai destinasi. Mereka menurut saja karena tidak memiliki pilihan lain.

Motor kami parkir di pinggir jalan. Untuk menuju ke tempat itu kami harus berjalan cukup jauh menyusuri sawah. Pemandangan yang elok membuat perjalanan kami, yang kendati tengah menahan lapar, menjadi terasa enteng. Sejauh mata memandang terbentang hijaunya sawah. Sawah ini adalah lembah yang berbatasan langsung dengan lereng gunung Telomoyo. Di sebelah kanan kami, gunung Kendil berdiri dengan gagah.

Perjalanan menuju telaga

Udara yang sejuk khas pegunungan membuat pikiran terasa damai. Di setiap kaki melangkah, kami ditemani riak sungai kecil yang mengalir air jernih. Di sungai itu ikan ikan kecil terlihat jelas. Keadaan ini ternyata merupakan rekreasi batin yang menyenangkan.

Di ujung sawah, akhirnya kami menemukan telaga itu. Telaga itu berada persis di bawah lereng gunung Telomoyo. Ia teduh, tenang dan damai. Di pinggir telaga itulah perjalanan kami terhenti. Kami menggelar perbekalan yang kami bawa.

Di pinggir telaga itu, ikan, nasi, dan sambal telah terhidang di hadapan kami. Saat itu perut saya mendadak terasa berlipat-lipat lebih lapar. Nafsu makan kami menjadi berapi-api.

Sungguh, makan-makan kali ini terasa sangat nikmat. Kenikmatan ini justru lahir dari kesederhanaan yang kami ciptakan. Kami yang udik ini, tidak perlu jauh-jauh dan repot-repot untuk menikmati apa yang Tuhan berikan. Di desa, banyak hal yang dengan mudah kami lihat sebagai sumber kegembiraan.

Hidangan tersaji di pinggir telaga

Sebagai catatan, setelah semua makanan tandas, kami sepakat bahwa Kolik, -sang sambel maker yang barusan kami makan- pantas menyandang predikat sebagai pengracik sambal paling jempolan. Sambal buatanya, membuat kami sebentar-sebentar memujinya di tengah menyantap makanan.

Dan begitulah acara kenduri kecil-kecilan itu rampung. Sementara hari itu di beberapa wilayah di Indonesia sedang melaksanakan pesta demokrasi, kami juga menggelar pesta makan-makan di desa.

Nasrodin, penjaga nyala api

Salah satu sambal terenak karya tangan dingin Kolik

Seadanya, sekenanya

Lembah Telomoyo

Memetik daun kemangi


Kiri kek kanan: Pincuk, Gendos, Nasrodin

 


4 komentar untuk "Piknik Sederhana Pemuda Udik"