Pasar Papringan dan Desa yang Gagah
Oleh: Abdullah Habib
Nun di kabupaten Temanggung
terselenggara sebuah acara yang digagas oleh warga setempat, Pasar Papringan
namanya. Pasar Papringan adalah pasar, namun pasar yang bukan sekedar pasar. Pasar
ini bergulir lapanan, dhasaran hanya saban Minggu Wage.
Empat belas Februari kali ini jatuh pada
hari Minggu, pasarannya Wage. Ini kali kedua Pasar Papringan terselenggara. Saya
bersama tiga teman berangkat dari rumah kami Bedono mengunjungi pasar ini.
Sebelumnya, saya tau pasar ini dari seorang
kawan, ia guru salah satu sekolah alam di Salatiga. Lewat akun Instagramnya ia
membagi pengalamanya mengunjungi Pasar Papringan. Memandangi foto-fotonya, seketika
saya jatuh cinta pada tempat itu. Selanjutnya, saya mulai memburu informasi tentang
Pasar Papringan dari internet.
Seperti namanya, Pasar Papringan berada di
tengah kebun bambu, yang dalam bahasa jawa disebut: papringan. Berlokasi
persis di Desa Kelingan, Kandangan, Temanggung, Pasar Papringan hadir di daerah
dengan nuansa kampung yang asri. Penduduk yang ramah dan udara yang bersih sejuk
membuat Pasar Papringan semakin menegaskan kesan alaminya.
Lokasi ini sebetulnya mudah dijangkau,
namun karena kami berempat tidak hafal-hafal amat jalanan di Temanggung, maka
kami agak kerepotan menuju ke lokasi. Beruntung saya selalu mengandalkan GPS. Dan
GPS yang selama ini saya andalkan telah terbukti memiliki tingkat akurasi yang jempolan. GPS
ini adalah singkatan dari Gunakan Penduduk Setempat. Ketika jalan yang kami
lintasi adalah masalah, maka penduduk setempat adalah solusi.
Pukul 10.00 pagi kami sukses parkir di
lokasi Pasar Papringan. Karcis parkir dua ribu rupiah adalah harga yang wajar
untuk acara seperti Pasar Papringan ini. Terus terang sejak berangkat
sebetulnya saya agak kawatir dengan kondisi tanah di Pasar Papringan. Bagaimanapun
juga Pasar Papringan adalah kebun bambu yang dibikin jadi pasar tanpa
menghilangkan keutuhan papringannya. Diguyur hujan beberapa hari belakangan,
tanah yang becek, berlumpur, dan licin sudah barang tentu cukup mengancam
keberlangsungan denyut pasar hari ini.
Namun, kekawatiran saya lenyap ketika menapakkan
sendal jepit saya di lokasi Pasar Papringan. Rupanya jalanan di lokasi ini telah
didesain menggunakan lantai trasah. Trasah adalah lantai yang dibuat dengan menyusun
bebatuan. bidang batu yang paling rata diambil sebagai permukaanya. Saya kagum
dengan konseptor pasar ini karena memilih trasah, dan bukan betonisasi. Menurut
saya, trasah adalah pilihan yang arif. Manusia butuh jalan dan lantai yang
tidak becek, sementara alam tetap dapat menyerap air hujan. Untuk itulah trasah
hadir sebagai kompromi.
Pasar Papringan berlangsung selama lima
jam. Dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 12.00 siang. Tapi kami yang datang
pukul 10.00 hitunganya agak terlambat. Beberapa lapak terlihat dagangannya telah ludes. Sold out.
Mayoritas lapak di sana menjajakan penganan
tradisional. Penyajianya klasik. Untuk soto dan bubur misalnya, wadahnya bukan
mangkok seperti wajarnya mangkok di rumah-rumah. Disana, bubur dan soto
disajikan dengan mangkok dari batok kelapa. Selain itu, makanan-makanan yang
dijual ditempatkan hampir semuanya di kuwali yang terbuat dari tanah liat.
Keunikan di Pasar Paringan yang lainnya
adalah semua penjual disana tidak akan mau dibayar menggunakan uang tunai
rupiah. Karena mereka menggunakan mata uang sendiri yang berupa
kepingan-kepingan pring. Pengunjung yang kepengen berbelanja, terlebih dahulu
perlu menukar uang rupiahnya dengan mata
uang pring yang sudah disediakan di sana.
Mata uang Pasar Papringan |
Kendatipun namanya pasar, Pasar Papringan menghadirkan lebih dari peristiwa ekonomi. Pengunjung yang datang dari berbagai daerah, bahkan, kalau tidak salah saya melihat ada juga turis mancanegara, mereka tidak sekedar bertransaksi, mereka saling bercerita, mereka mengapresiasi, adalah peristiwa kebudayaan.
Di salah satu sudut Pasar Papringan, ada teater
terbuka. Disini, masyarakat boleh mementaskan karya mereka. Biasanya, pementas
adalah perwakilan dari desa-desa sekitar pasar Papringan. Waktu itu, saya sempat
nonton pertunjukan pantomim dan pentas tari berkelompok dari anak-anak desa di
Temanggung.
Teater terbuka di salah satu sudut Pasar Papringan |
Kami baru beranjak pulang ketika pasar menjelang bubar. Pukul 12.00 kami meninggalkan Kandangan. Pasar Papringan menjejakkan kesan yang mendalam di hati saya. Di tengah budaya urbanisasi seperti kini, Pasar Papringan, dengan semangatnya hadir mencitrakan desa yang gagah. Desa yang penuh dengan harapan. Ia seperti hendak menyampaikan: pulanglah ke desa, berkaryalah disini. Sebab masa depan ada di desa.
Lantai trasah |
Belakangan saya tau orang dibalik Pasar
Papringan adalah Singgih Kartono. Ia yang mendesain konsep Pasar Papringan. Pak
Singgih, sebelumnya telah lebih dulu menciptakan sepeda dari bambu. Spedagi
nama sepeda itu. Saya juga merasa cukup mujur, ketika pada suatu hari di acara
Festival Mata Air 2016 pernah bertemu dan berkesempatan ngobrol dengannya.
*tulisan ini pertama kali dimuat di omahpetualang.com
Bersama Pak Singgih, Founder Pasar Paprigan |
*tulisan ini pertama kali dimuat di omahpetualang.com
Posting Komentar untuk "Pasar Papringan dan Desa yang Gagah"